Mengalahkan Jiwa yang Buruk
Mengalahkan Jiwa yang Buruk adalah kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Maududi Abdullah, Lc. pada Ahad, 20 Jumadil Akhir 1446 H / 22 Desember 2024 M.
Kajian Tentang Mengalahkan Jiwa yang Buruk
Poin Pertama: Kebaikan dan Keburukan Telah Diajarkan oleh Allah
Di dalam Al-Qur’an Surah Al-Balad ayat yang ke-10, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan keburukan).” (QS. Al-Balad [90]: 10)
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa manusia diberikan petunjuk kepada dua jalan: jalan kebaikan dan jalan keburukan. Agama Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengajarkan segala hal tentang kebaikan dan keburukan secara sempurna. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan hal ini selama 23 tahun masa kenabian, mencakup perintah untuk melakukan kebaikan dan larangan dari melakukan keburukan.
Allah menegaskan kesempurnaan agama ini dalam firman-Nya:
… الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ…
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 3)
Segala sesuatu telah diterangkan dalam agama Islam, termasuk mana yang halal dan haram, mana jalan menuju surga dan neraka, serta mana yang diridhai Allah atau dicintai setan.
Allah juga berfirman:
…وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ…
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS. An-Nahl [16]: 89)
Meskipun masa kenabian hanya berlangsung 23 tahun, Allah dengan ilmu-Nya yang Maha Luas telah memastikan semua kebaikan dan keburukan hingga Hari Kiamat dibahas secara sempurna. Bagi orang yang hanya mengandalkan logika tanpa keimanan, mungkin sulit memahami hal ini. Keimanan kita akan menyelaraskan logika dengan kebenaran wahyu. Karena sebagai seorang Muslim, kita beriman bahwa:
…إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal[8]: 75)
Apabila kita kembali kepada aqidah Ahlus Sunnah ketika membahas ilmu Allah, mereka membahas lima poin:
- Allah Mengetahui Semua yang Telah Terjadi
Allah mengetahui seluruh kejadian yang telah terjadi. Tidak ada yang luput dari pengetahuan-Nya, baik yang kecil maupun besar. - Allah Mengetahui Semua yang Sedang Terjadi
Allah mengetahui semua yang sedang berlangsung saat ini, termasuk apa yang kita lakukan, apa yang sedang dilakukan manusia di berbagai tempat—baik di Bandung, Indonesia, dunia, langit, maupun bumi. Semua kejadian yang berlangsung saat ini sepenuhnya diketahui oleh Allah. Kita tidak boleh ragu sedikit pun tentang hal ini. - Allah Mengetahui Semua yang Akan Terjadi
Allah mengetahui seluruh kejadian yang akan terjadi di masa depan. Tidak ada satu pun yang tersembunyi dari ilmu-Nya. - Allah Mengetahui Semua yang Tidak Akan Terjadi
Allah juga mengetahui seluruh hal yang tidak akan pernah terjadi. Kejadian yang tidak akan pernah menjadi kenyataan pun berada dalam ilmu Allah. - Allah Mengetahui Bagaimana Jika yang Tidak Akan Terjadi Itu Terjadi
Allah mengetahui bagaimana kejadiannya jika sesuatu yang tidak akan pernah terjadi itu benar-benar terjadi. Hal ini menunjukkan keagungan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.
Poin Kedua: Kemampuan Manusia Untuk Memilih
Manusia diberikan oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala kemampuan untuk memilih. Hal ini menjadikan manusia berbeda dengan malaikat. Allah memberikan kemampuan untuk memilih setelah diajarkan mana yang baik dan mana yang buruk. Pilihan itu diberikan kepada manusia sebagai bagian dari ujian di permukaan bumi.
Bukankah kita hidup untuk diuji oleh Allah? Ujian itu terletak pada saat kita diminta memilih antara yang baik dan yang buruk, setelah semuanya diterangkan. Allah menjelaskan mana yang dicintai-Nya, mana yang diridai-Nya, dan mana jalan ke surga. Sebaliknya, Allah juga menjelaskan mana yang buruk, yang dicintai setan, jalan menuju neraka, dan mana yang akan mendatangkan murka-Nya.
Setelah semuanya dijelaskan, manusia diberikan kekuatan untuk memilih. Dalam Surah Al-Kahfi, Allah berfirman:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ…
“Dan katakanlah, ‘Kebenaran itu datang dari Rabb kalian; maka barangsiapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kufur, biarlah ia kufur.’” (QS. Al-Kahfi [18]: 29)
Kebenaran telah diterangkan, ilmu telah dijelaskan, dan syariat telah diturunkan. Semua yang diridhai Allah dan yang dimurkai-Nya telah disampaikan. Maka, manusia bebas memilih, tetapi harus menerima konsekuensi dari pilihannya.
Saat ini, banyak manusia ingin memilih tetapi tidak mau menerima konsekuensi dari pilihannya. Kesalahan yang sering terjadi adalah seseorang ingin memilih beriman, tetapi tidak mau menanggung akibatnya. Misalnya, memilih beriman berarti siap meninggalkan sebagian harta, menghentikan penghasilan yang tidak halal, menghindari transaksi yang tidak dibenarkan, menjauhi kawan-kawan yang buruk, tidak menghadiri majelis-majelis yang tidak pantas, dan meninggalkan tontonan yang dilarang.
Namun, jika seseorang berkata, “Saya mau beriman, tetapi saya tidak ingin meninggalkan hal-hal tersebut,” maka itu tidak boleh. Memilih selalu disertai konsekuensi. Hal yang sama berlaku jika seseorang memilih jalan keburukan. Ada konsekuensinya, seperti bersahabat dengan setan, dimurkai Allah, dan masuk neraka, yang disertai azab yang luar biasa.
Konsekuensi pilihan iman mungkin berat di dunia, tetapi kebaikan akan dirasakan di akhirat. Sebaliknya, konsekuensi pilihan maksiat mungkin terasa ringan di dunia, tetapi berat di akhirat. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia ini adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)
Bagi orang kafir, dunia menjadi surganya. Mereka menikmati kebebasan sesuai hawa nafsu tanpa aturan. Namun, konsekuensi beratnya ada di akhirat. Sebaliknya, bagi orang mukmin, dunia bagaikan penjara karena ada aturan-aturan yang harus diterapkan, seperti batasan dalam harta, penglihatan, akhlak, dan muamalah. Orang mukmin tidak bebas bertindak semaunya. Namun, kesulitan itu hanya sementara di dunia, dan kemudahan menanti di akhirat.
Setiap pilihan memiliki konsekuensinya. Allah telah menerangkan segala-galanya kepada manusia dan memberikan kebebasan untuk memilih. Dalam Surah Al-Insan, Allah berfirman:
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا ﴿٢﴾ إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا ﴿٣﴾
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari air yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya. Karena itu, Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepadanya jalan, silahkan manusia itu memilih jalan orang yang bersyukur atau jalan orang yang kufur.” (QS. Al-Insan [76]: 2-3)
Kedua jalan telah diterangkan. Manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan orang yang bersyukur atau jalan orang yang kufur. Setelah semuanya dijelaskan, manusia diberi kekuatan untuk memilih dan harus siap menerima konsekuensinya.
Poin Ketiga: Manusia Memiliki Potensi Bersyukur Maupun Kufur
Semua manusia yang diciptakan oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala Rabbul Izzati wal Jalalah memiliki potensi untuk menjadi orang yang bersyukur maupun orang yang kufur. Dengan kata lain, setiap manusia tanpa terkecuali memiliki potensi dalam dirinya untuk menjadi hamba yang shalih atau tidak shalih.
Jangan mengira bahwa orang yang tidak shalih tidak mungkin menjadi shalih. Mereka memiliki potensi untuk itu, asalkan mereka memilih jalan keshalihan. Sebaliknya, jangan pula mengira bahwa orang yang shalih tidak memiliki potensi untuk menjadi tidak shalih. Mereka juga memilikinya.
Hal ini karena Allah telah meletakkan fitrah tersebut dalam diri manusia. Allah memberikan pilihan: apakah ingin memilih jalan kekufuran dan menjadi orang kafir, atau memilih jalan keimanan dan menjadi orang mukmin. Apakah ingin memilih jalan orang yang bersyukur dan menjadi hamba yang dicintai Allah, atau jalan kufur yang menjadikan seseorang dibenci oleh Allah.
Intinya, setiap manusia memiliki kemampuan untuk keduanya—menjadi orang shalih atau tidak shalih. Di situlah letaknya ujian: manusia harus memilih.
Manusia diberi potensi untuk memilih jalan mana yang akan diambil. Setiap manusia memiliki kemampuan membaca Al-Qur’an, meskipun tidak mahir. Begitu pula, mereka mampu bernyanyi, meskipun tidak ahli. Manusia memiliki kemampuan untuk duduk di majelis taklim, sebagaimana memiliki kemampuan untuk duduk di tempat karaoke.
Setiap manusia dapat menggunakan lidahnya untuk berkata baik atau berkata kotor. Kaki manusia pun memiliki potensi untuk melangkah ke masjid atau ke tempat maksiat. Semua kemampuan itu ada dalam diri manusia. Tinggal bagaimana manusia memilih dan menggunakannya sesuai jalan yang diridhai Allah.
Banyak orang beranggapan bahwa hidup dalam maksiat membuatnya mustahil menjadi orang shalih. Ini adalah kesalahan besar. Sejarah menunjukkan banyak orang durjana yang akhirnya menjadi shalih. Orang yang dulunya membenci Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahkan berubah menjadi pembela beliau. Orang yang menggunakan pedangnya untuk kaum muslimin berubah menjadi pembela kaum muslimin.
Logikanya, semua yang digunakan orang shalih untuk menjadi shalih juga dimiliki oleh orang yang tidak shalih, hanya saja mereka tidak menggunakannya. Sebaliknya, orang shalih juga bisa memilih jalan maksiat jika mau. Mereka memiliki harta, kaki untuk melangkah, dan tangan untuk berbuat maksiat, tetapi mereka memilih untuk tidak menggunakannya.
Setiap manusia memiliki potensi untuk menjadi shalih maupun tidak shalih. Orang shalih tidak menjadi shalih karena tidak punya bakat untuk berbuat maksiat, tetapi karena memilih keshalihan dan berjuang untuk menjauhi maksiat. Sebaliknya, orang yang bejat sebenarnya juga memiliki potensi untuk menjadi taat, tetapi mereka tidak memilihnya.
Poin Keempat: Allah Menurunkan Sarana Keshalihan dan Ketidakshalihan
Allah Tabaraka wa Ta’ala Rabbul ‘Izzati wal Jalalah telah menurunkan berbagai sarana untuk mendukung keshalihan dan juga mentakdirkan sarana untuk mendukung ketidakshalihan. Berikut adalah sarana yang Allah berikan untuk mendukung keshalihan:
- Al-Qur’an
Allah telah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk untuk mengantarkan manusia kepada keshalihan. Al-Qur’an benar-benar menuntun manusia untuk menjadi orang yang baik dan shalih. - Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Allah mengutus Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mengajarkan, menyampaikan, mencontohkan, dan memotivasi manusia untuk hidup dalam keshalihan. - Akal Sehat
Allah memberikan manusia akal yang mampu mendeteksi sebagian kebaikan dan keburukan. Jika akal digunakan bersama Al-Qur’an dan hadits, kemampuannya untuk membedakan kebenaran dan kebatilan menjadi lebih luas. - Fitrah Kebaikan
Allah menciptakan manusia dengan fitrah kebaikan. Semua kebaikan akan sesuai dengan fitrah manusia, sedangkan keburukan bertentangan dengan fitrah ini.
Di sisi lain, ada dua sarana yang mendukung keburukan:
- Iblis dan bala tentaranya
Allah mentakdirkan keberadaan iblis dan setan yang terus menggoda manusia untuk melakukan keburukan. - Hawa nafsu
Hawa nafsu mengajak manusia kepada keburukan. Peperangan hidup terjadi ketika manusia harus memilih antara mengikuti Allah, Rasul, akal, dan fitrah, atau mengikuti godaan setan dan hawa nafsu.
Ciri-ciri penghuni surga, sebagaimana disebutkan Allah dalam Al-Qur’an, adalah orang yang menahan diri dari hawa nafsunya:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ ﴿٤٠﴾ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ ﴿٤١﴾
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at [79]: 40-41)
Manusia akan berdiri di hadapan Allah pada hari kiamat untuk mempertanggungjawabkan amalannya. Oleh karena itu, melawan hawa nafsu yang selalu mengajak kepada keburukan adalah kewajiban yang harus dilakukan hingga akhir hayat. Jika berhasil menahan dan membelenggu hawa nafsu, maka surga akan menjadi tempat kembalinya.
Allah Tabaraka wa Ta’ala menghendaki hamba-Nya untuk menempuh jalan keselamatan, karena faktor yang mendukung kebaikan dalam diri manusia lebih dominan daripada yang mendukung keburukan. Keburukan berasal dari dua musuh, yaitu setan sebagai musuh eksternal dan hawa nafsu sebagai musuh internal. Setan disebut sebagai musuh manusia dalam Al-Qur’an:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ…
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh.” (QS. Fathir [35]: 6)
Sementara itu, hawa nafsu, meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai musuh dalam Al-Qur’an, juga berpotensi besar mengajak kepada keburukan. Dalam Ramadhan, kedua musuh ini melemah: setan dibelenggu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
“Apabila Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hawa nafsu melemah saat manusia berpuasa, karena lapar menekan dorongan nafsu. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyarankan para pemuda yang belum mampu menikah untuk memperbanyak puasa agar dapat mengendalikan hawa nafsu. Oleh karena itu, di bulan Ramadhan, semangat ibadah meningkat dan kecenderungan terhadap keburukan melemah.
Dalam hidup, manusia diminta untuk memilih kebaikan dan meninggalkan keburukan, meskipun terkadang keburukan itu sesuai hawa nafsu. Dunia adalah tempat menguji kemampuan manusia melawan hawa nafsu. Katakan pada diri: “Sabarlah wahai diri, kehidupan di dunia ini singkat jika dibandingkan dengan akhirat.”
Ketika hidup di permukaan bumi, manusia sedang mengukir biografi akhiratnya. Maka jangan membuat biografi buruk. Karena di akhirat kelak hanya balasan dari apa yang dilakukan di dunia. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsi:
يَاعِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ.
“Wahai hamba-hamba-Ku, semua yang kalian dapat di akhirat adalah amal perbuatan kalian yang Aku catat untuk kalian, lalu Aku kembalikan kepada kalian. Barangsiapa yang mendapati kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah. Dan barang siapa mendapati selain itu, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.” (HR. Muslim)
Lihat: Hadits Arbain ke 24 – Allah Mengharamkan Kedzaliman
Kesimpulan Kajian Mengalahkan Jiwa yang Buruk
Dari semua yang telah disampaikan, kita memahami bahwa diri kita memiliki bakat buruk. Oleh karena itu, dalam khutbah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disebutkan:
وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
“Kami berlindung kepada Allah dari keburukan-keburukan diri dan keburukan amal-amal kami.”
Jelas bahwa diri kita memiliki keburukan dan potensi untuk menjadi buruk. Sebagai ilustrasi, pisau di rumah dapat digunakan untuk menyembelih sapi, tetapi juga dapat digunakan untuk menyembelih manusia. Potensi tersebut ada.
Maka, pilihlah bakat-bakat kebaikan dan berusahalah mengekang diri agar menghentikan bakat-bakat keburukan. Upaya ini memerlukan kesadaran dan pengendalian diri agar kita dapat melawan potensi keburukan yang ada dalam diri, sehingga kita lebih dekat dengan kebaikan dan terhindar dari keburukan.
Sebagai penutup, hijrah menuju ketaatan memang berat di awal. Allah ingin menguji keseriusan hamba-Nya, sebagaimana para sahabat dahulu menghadapi tantangan besar dalam berhijrah. Namun, jika seseorang bersabar, kesulitan itu akan berganti dengan kemudahan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
“Sesungguhnya agama ini mudah.” (HR. Bukhari).
Ketaatan sejatinya membawa kemudahan, sedangkan maksiat membawa kesulitan. Orang yang sabar dalam ketaatan dan meninggalkan maksiat akan merasakan keindahan hidup dalam Islam. Sebagaimana firman Allah:
…يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ…
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.
Dengarkan dan Download Kajian Mengalahkan Jiwa yang Buruk
Podcast: Play in new window | Download
Jangan lupa untuk turut menyebarkan kebaikan dengan membagikan link kajian “Mengalahkan Jiwa yang Buruk” ini ke media sosial Antum. Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan Antum semua.
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54816-mengalahkan-jiwa-yang-buruk/